Koreksi fiskal adalah koreksi atau
penyesuaian yang harus dilakukan oleh wajib pajak sebelum
menghitung Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dan wajib pajak
orang pribadi (yang menggunakan pembukuan dalam menghitung penghasilan kena
pajak).
Koreksi fiskal terjadi karena adanya
perbedaan perlakuan/pengakuan penghasilan maupun biaya antara akuntansi
komersial dengan akuntansi pajak.
B. Jenis
Perbedaan Pengakuan antara Komersial dan Fiskal
Secara umum
terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi
komersial dengan perpajakan (fiskal) yang menyebabkan terjadinya koreksi
fiskal, yaitu:
1.
Beda Tetap (Permanent Different)
Beda Tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan
maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang
sifatnya permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan
diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan
koreksi karena beda tetap terjadi karena :
- Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh)
- Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya:
- Bunga Deposito dan Tabungan lainnya
- Penghasilan berupa hadiah undian
- Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa
tanah dan/ atau
bangunan, - Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan
- Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
- dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)
Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap
terjadi karena menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut
Undang-undang PPh bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan
bruto, misalnya:
- biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;
- yang bukan objek pajak;
- yang pengenaan pajaknya bersifat final;
- yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan
- penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan
- Pajak Penghasilan
- sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
- biaya-biaya lainnya yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh)
Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi
negatif artinya penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial namun
secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak
maupun karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan
berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil.
Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi
positif artinya biaya yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara
fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang
akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih besar.
2.
Beda Waktu (Time Different)
Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan
maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang
sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan
dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu
terjadi karena :
- Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima.
Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi
karena :
- Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun
- Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO
- Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu
Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi
positif pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif
pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena
pajak akan bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan
menyebabkan laba kena pajak akan berkurang.
Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi
positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.
C. Jenis
Koreksi Fiskal
1. Koreksi Fiskal Positif
Koreksi Fiskal Positif Yaitu koreksi fiskal yang
menyebabkan penambahan penghasilan kena pajak dan PPh terutang.
Jenis
Koreksi Fiskal Positif antara lain :
a.
Pembagian laba dengan nama dan dalam
bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
b.
Biaya yang dibebankan atau
dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
c.
Pembentukan atau pemupukan dana
cadangan kecuali :
1) Cadangan
piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan
perusahaan anjak piutang.
2) Cadangan
untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
3) Cadangan
penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.
4) Cadangan
biaya reklamasi untuk usaha pertambangan.
5) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.
6) Cadangan
biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha
pengolahan limbah industry.
d.
Premi asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang
dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan.
e.
Penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan,
kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian
atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
f.
Jumlah yang melebihi kewajaran yang
dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
g.
Harta yang dihibahkan, bantuan atau
sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i
sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
h.
Pajak Penghasilan.
i.
Biaya yang dibebankan atau
dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya.
j.
Gaji yang dibayarkan kepada anggota
persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham.
k.
Sanksi administrasi berupa bunga,
denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan
pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan
l.
Persediaan yang jumlahnya melebihi
jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah ditetapkan dalam Pasal 10 UU No.36 Tahun 2008
tentang PPh.
m.
Penyusutan yang jumlahnya melebihi
jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah ditetapkan dalam Pasal 10 UU No.36 Tahun 2008
tentang PPh.
n.
Biaya yang ditangguhkan
pengakuannya.
2. Koreksi Fiskal Negatif
Yaitu koreksi yang menyebabkan pengurangan penghasilan kena
pajak dan PPh terutang.
Jenis Koreksi Fiskal Negatif antara lain :
1) Penghasilan
yang telah dikenakan PPh Final antara lain :
a.
Penghasilan berupa bunga deposito
dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan
yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
b.
Penghasilan berupa hadiah undian.
c.
Penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan
transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
d.
Penghasilan dari transaksi
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real
estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
2) Penghasilan
yang bukan merupakan objek pajak antara lain :
a.
Bantuan atau sumbangan, termasuk
zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
b.
Harta hibahan yang diterima oleh
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi
yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
c.
Warisan.
d.
Harta termasuk setoran tunai yang
diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal.
e.
Penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan
oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau
Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit).
f.
Pembayaran dari perusahaan asuransi
kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
g.
dividen atau bagian laba yang
diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,
koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat :
i. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
ii. bagi
perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.
h.
Iuran yang diterima atau diperoleh
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang
dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
i.
Penghasilan dari modal yang
ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf h, dalam
bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
j.
Bagian laba yang diterima atau
diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang
unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
k.
Penghasilan yang diterima atau
diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha
yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat
badan pasangan usaha tersebut :
i. Merupakan
perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
ii. sahamnya
tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
l.
Beasiswa yang memenuhi persyaratan
tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
m.
Sisa lebih yang diterima atau
diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan
dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi
yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana
kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
n.
Bantuan atau santunan yang
dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
o. Persediaan
yang jumlahnya kurang jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 10 UU No.36 Tahun 2008
tentang PPh.
p. Penyusutan
yang jumlahnya kurang jumlah berdasarkan metode penghitungan yang sudah
ditetapkan dalam Pasal 10 UU No.36 Tahun 2008
tentang PPh.
BEDA
PENYUSUTAN AKTIVA TETAP MENURUT PAJAK DAN AKUNTANSI
·
Menurut
akuntansi dapat digunakan metode apapun sementara menurut pajak hanya boleh
menggunakan 2 metode saja yaitu garis lurus dan saldo menurun, bahkan untuk
bangunan hanya dibolehkan metode garis lurus.
·
Umur
manfaat menurut akuntansi didasarkan kepada diskresi manajemen sementara
menurut pajak diatur umur manfaat aktiva tetap bedasarkan ketentuan perpajakan,
yaitu untuk aktiva tetap bukan bangunan dibagi menjadi 4 golongan dengan umur
manfaat mulai dari gol 1 adalah 4, 8, 16 dan 20 tahun sedangkan bangunan
menjadi 10 tahun untuk bangunan semi permanen dan 20 tahun untuk bangunan
permanen.
·
Secara akuntansi, aktiva tetap (aset
tetap) mulai disusutkan pada saat aktiva tersebut siap untuk digunakan. Secara
perpajakan, aktiva tetap mulai disusutkan pada bulan dilakukannya pengeluaran
(pada saat diperoleh/dibeli).
1 komentar:
bagus, terima kasih infonya
Posting Komentar